Keping Hati
Kembali ke awal masa
penjajahan hati oleh kesendirian yang tiada batas.lingkaran-lingkaran itu
saling bersingungan menyebar merata disetiap penjuru jiwa yang merasakannya.
Sedemikian rupa sehingga seharusnya membangun perasaan baru harus berada diluar
dari jangkauan perasaan cinta dan luka yang telah lebih dahulu dibangun.
Sudah seminggu rasanya
setelah turun dari pegunungan, akhirnya kupijaki lagi padatnya kota. Ku temui
lagi keramahan warga yang hendak mencari nafkah, baik itu yang mengabdikan diri
kepada negara, masyarakat atawa yang sering disebut PNS. Ada juga yang berwira
usaha mandiri, dan yang mengabdikan diri kepada alam, yaitu para petani dan
pemerhati lingkungan. Mereka para pengabdi terhadap alam ini tidak pernah
mengharapkan balasan berupa materi, tetapi mengharapkan kebahagiaan dan
kelangsungan hidup alam yang bisa berdampingan erat dengan manusia.
Hari senin depan aku sudah
harus masuk sekolah, apakah aku sudah siap untuk bertatap muka dengannya,
memandang wajah lembutnya yang tak berani sedikitpun aku menyakitinya. Nita,
kenapa wajahmu selalu mengawang di antara hari-hari perenunganku. apakah
seberkas ilusi resahku telah terpengaruh untuk menggenggam siluetmu.
Aku tidak memiliki
keberanian untuk mencari apa yang terdapat dalam isi hati. Aku merasa lemah
Nit, merasa tak berdaya karena sesungguhnya senyummu pun indah. Seandainya
waktu itu, yang menegurku adalah kamu dan bukan Key. Atau kamu yang lebih dulu
membongkah tanggul angkuh hatiku, merusak segala pondasi kesombongan yang telah
lama terpatri. Mungkin sekarang aku tidak perlu pusing memikirkan dirimu,
karena hatiku sudah pasti tertuju.
Dua
mata keping dalam hati
Teramat
sulit di pahami meski dengan kaca pembesar
Lengkap
dalam lekukan pelukan
Meski
sebenarnya urung tak menentu
Sampai
waktu membalik dua bagianya, tak menjadi satu
Sesaat hembusan lelah
itu menghampiri, menekan saraf ke lemahanku sebagai seorang laki-laki.
laki-laki yang selalu memegang teguh perasaanya akan satu wanita, namun semua
perlahan seakan tersisihkan oleh wajah mungil nan lucu milik mahluk lain. jejas
senyum dan kelincahan cara dia berbicara membubarkan segala asa terhadap
Keyrina. maafkan hati ini Key....ucapku lirih dalam kesendirian.
***
Aku terlambat, waduh
pasti banyak yang terjadi sudah didepan gerbang sekolahku. benar saja, tak jauh
dari tempatku berlari mengejar waktu. aku mendapati beberapa teman sekolahku
bertumbangan meletakan semua tas yang mereka bawa. Mr, Punk nampak sudah mulai
menunggu kehadiranku dengan sedikit senyuman menyungging diujung bibirnya.
pertanda hari ini adalah hari kemenangan baginya, bagi kekuasaanya yang tak
terbantahkan. karena gerbang sekolah adalah daerah kekuasaanya pertama setelah
ruang BK, sungguh sangat ironis.
Dengan terpaksa aku
menuruti permintaanya, meletakan egoku dibawah kakinya dengan sedikit melinting
lengan baju dan menjatuhkan tubuhku.fine i have down aku melakukan
satu seri push-up sesuai permintaanya. inilah upah yang akan
kami terima apabila kami para siswa bermain-main dengan waktu.
Jam pelajaran dikelas
pun ku ikuti berbeda seperti biasanya, hari ini menurut banyak rekanku aku
terlalu annoying, tak seperti biasanya yang selalu pro-aktif,
hiperaktif, bahkan mereka selalu menjuluki si masalah. bukan berarti trouble
maker karena aku tak mau terkesan aku adalah anak bengal dan tak tau
adat.
Memang akupun merasa
aneh, biasanya aku adalah orang yang paling nggak betahan gtoeh klo dah
dikelas, pinginya bikin keramaian dan selalu melongok keluar kelas demi
memandang Keyrina diseberang kelas. atau sedikit iseng dengan mengganggu
beberapa siswi yang melintas didepan kelasku. semua terasa seperti sebuah
adrenalin yang membuat senyumku semakin merekah jadinya.
Ajakan beberapa teman
aku abaikan, dari senter, kebo sampai adik manisku ari, si gadis lucu dikelas
yang memiliki gingsul diantara gigi depanya. dimana setiap ia tersenyum pasti
semua mata akan tersihir... meski kakinya sedikit panjang sebelah. tapi dia
adalah gadis yang selalu memperhatikanku, karena dia menganggap aku sebagai
kakaknya.
Aku masih mencoba untuk
fokus terhadap desahan angin pegunungan, terhadap rimbunya sang embun, terhadap
hangatnya sapa mentari, terhadap dingin sentuhan sang hujan, terhadap hentakan
awan beriring, terhadap sedapnya lirikan sang daun, terhadap lelahnya tanah
yang kupijak, terhadap lentingan air sungai yang meninggi, terhadap kamu yang
membaca firasatku, terhadap dia yang mengusik tenang sedihku, terhadap mereka
yang memperhatikan jejak sepatuku, terhadap.......
Semakin tak jenak
rasanya, sesak sepertinya, tersayat seakanya, terhimpit seharusnya, bernafas
seinginya, namun sistem fokusku masih membayangi untuk tetap menantang takdir,
terhadap rayuan waktu, terhadap senandung burung, terhadap nyanyian rembulan,
terhadap hembusan senter pada jemari, terhadap sentilan binatang kecil,
terhadap segala gelap malam, terhadap kamu nita....., akhirnya nafasku kembali
melambat. namun irama jantungku masih saja menderu.
***
Bel berbunyi tanda
pelajaran jam pertama berakhir berganti waktu istirahat. aku langsung melompat
dari tempat duduku berlari keluar melalui meja guru yang hanya duduk termangu
melihat gelagatku. melintasi teman-temanku yang terus memanggil namaku untuk
terus sabar menunggu. namun hati ini terus memburu.
Aku sudah berdiri
dihadapan kelasnya, beberapa temanya lalu meneriaki namanya memberi tahukan
bahwa keberadaanku di depan kelasnya.
Key, ada yang nyari kamu
tuh.., teriak salah seorang teman wanita memanggil Keyrina memberitahukan bahwa
aku ada di depan kelasnya. padahal sebenarnya aku kesana bukan karena ingin
bertemu denganya melainkan ingin menemui Nita, yaggh.... Nita Anggraini. gadis
kecil nan lucu berperawak mungil berkaca mata dan memiliki lesung di pipi
kirinya.
Ada apa Ga? tanya
seorang gadis yang kini berada dihadapanku.
Emmh.., itu Key, aku
kesini pingin ketemu sama Nita. Dia ada nggak ya? jawabku tanpa basa-basi dan
tidak memperhatikan lagi mimik wajah dari Keyrina.
oh, Nita lagi nggak ada
Ga, kemarin sih katanya dia lagi ngurus kepindahanya ke Jakarta.
Jakarta...! ucapku
dengan mimik sedikit kecewa, dan kurasa Keyrina menyadari apa yang baru saja
aku ucapkan. itu menunjukan rasaku yang dalam yang tak perlu diungkapkan, namun
setiap insan mampu menerka ada udang dibalik tepung mayzena.
Iya, jawabnya
meyakinkanku bahwa teman sekelasnya itu memang sedang tidak ada ditempat. kamu
kenapa si Ga, tumben nanyain Nita? biasanya juga kalo ketemu kalian nggak
pernah akur.
Perkataan Keyrina
terakhir membuat aku semakin berguncang detak jantungnya. mungkin rasa ini
hanya rasa kehilangan sesaat yang mana setiap waktunya selalu terisi oleh
ocehan dan pertengkaran kecil antara kami. maafkan aku Key, aku tak bermaksud
membuatmu mencurigai kepolosan atau ketololanku ini. aku tak bisa pungkiri ada
banyak ruang dihati ini untuk hati yang lain.
Ga, kamu lagi mikirin
apa? Kok banyak diemnya dari tadi. Kamu kata temen-temen tadi nyari aku,
sebenernya kamu mau nyari aku apa ada perlu sama Nita?
Pertanyaan Keyrina
seolah menohok kerongkonganku, yang terlontar hanya ucapan. Oh, aku permisi
kekelas.
Dengan meninggalkan
lubang besar melongo dalam pertanyaan hatiku dan hatinya yang sudah tentu
Keyrina, yang aku tau sekali isi hatinya. Langkah ini semakin berat seperti ada
berjuta ton menggantung dilengahnya perasaanku, diletihnya suara hati diantara
lusuhnya materi memikirkan isyarat hati.
***
Sepeda itu kini hanya ada
disebelahku menemani langkahku pulang, tak seperti biasa rela mengas demi
tubuhku berada diatas pundaknya. Tanpa pamrih menerima uluran kakiku
mengayuhnya, menerjang semua aral kerakal yang ada dibawahnya, menggilas
rerumputan hingga tokai kuda sampai manusia. Semua dia rela lakukan demi
mengantarku sampai tujuan dan kami terlentang dengan sama lelahnya.
Meski sepedaku tak pernah bercerita
padaku, namun aku mampu merasakan setiap letih goresan aspal yang menempel di
wajah banya yang semakin menggundul. Dia lelah mengantarku hingga sampai
ketujuan, membahagiakan semua hariku, hingga saat ini dia pun masih setia
kutuntun berjalan beriring mendengarkan gesekan langkah demi langkah kami
berdua.
Senyuman Keyrina di sudut gerbang
sekolah sepertinya lupa ku indahkan. Senyuman yang selalu kubalas lagi dengan
senyuman, senyuman yang akan selalu menambah berwarnanya taman bunga dalam
hatiku, senyuman yang selalu membuat seakan ada esok hari yang ingin aku temui
dan kupercepat, senyuman yang menambah gairah permainan bola kakiku, senyuman
yang seperti opium dalam setiap mimpiku, senyuman yang semua orang pasti
merasakanya seperti berada di taman syurga.
Namun, tidak kali ini. Senyum itu
mungkin kini terasa pahit kepada sang pemiliknya, karena senyum itu tak
berbalas senyum ketulusan. Melainkan langkah letih yang membingungkan.
***
Waktu,
Aku tak ingin lagi menyalahkan
waktu, menyalahkan semua keanehan yang dia hasilkan, merutuki semua yang sudah
dia datangkan, dan mencoba menghapus cerita yang seharusnya hanya sebagai
pemanis buatan. Karena waktu… aku semakin tak menentu.
Seandainya waktu bercerita tentang
satu hal. Tentang sebuah hati, tanpa harus menambah episode hati yang lain,
tanpa harus merusak pagar hati dengan hati yang berdatangan atau hanya sekedar
mampir didepan teras, tanpa tahu bahwa hati telah meninggalkan kisah lain
diperapian.
Seperti saat ini, seharusnya aku
mampu bahagia dengan Keyrina, sebuah keindahan yang sangat aku dambakan, dan
tanpa ada rasa lain kesemua orang. Meski aku selalu berkata semua orang memiliki
hak untuk menyukai, mengagumi dan menyayangi serta menyayangi. Namun aku tetap
boleh memilih.
Tidak untuk saat ini sepertinya,
karena aku sudah mulai terbiasa dengan senyuman itu. Terbiasa oleh sapa lembut
lakunya, terbiasa dengan jentikan mata lentik di dalam pelupuknya, terbiasa
dengan hati yang selalu membuat hatiku berdebar hingga saat ini.
Sebuah nama dalam setiap sabda
ketidak mampuan yang akan aku dendangkan meski aku tak tau sampai kapan. Sebuah
nama yang tersamarkan, oleh sebuah perasaan itu sendiri. Sebuah nama yang
hingga saat ini aku masih merasakan bahwa aku merindukanya, meski mulai
terselip nama lain di bagian itu…………
Senandung
lirih dalam setiap tautan hati karena kamu kepingan hati.
Pencarianku pun berakhir, langkah ini mulai menepi.
Labels: Jogja Disini Masih Ada Cinta
0 Comments:
Post a Comment
<< Home