Edlewise
Cuit, cuit, cuit.
Direrimbunan pohon di helaan angin diantara sentuhan lembut nyayian
alam. Burung-burung berkicau nan riang menantang dinginnya hari. Diatas puncak
awan dilembah suram kelam kehidupan ku terpana dengan dahsyatnya ketenangan
kokoh julang tinggi dataran yang sedang ku pijaki sekarang.
Mataku terusik dengan indahnya tarian lembut berputar bunga-bunga kecil
yang bergerumbun bagai embun berada di pinggir-pinggir lereng nun jauh terjamah
nafsu elegy duniawi. Bulan
apakah ini, musim apakah sekarang? Karena tak mudah bisa menikmati dan
mendapati gerumunan bunga-bunga indah ini.
Jejak
gemericik air dibawah, mendadak mengajak tubuhku untuk bercengkrama dan menari
di dalamnya entah nuansa apakah yang sedang dia rasa. Panorama kegundahan
sesaat akan sirna hingga semua akan terhenti dalam titik koelefensi. Dimana
semua resah hingga akhirnya kita semua sebagai manusia tiba pada masa dimana
yang telah kita ketahui.
Namun
mataku tak ingin segera beranjak dari sana, dari gerobolan bunga-bunga kecil
yang menari indah. Segala hayal bertaut dalam satu jejakan pijak pusaran
endocardium. Yang mengalir lembut bersama dengan ikatan oksigen+hemoglobin yang
bertaut menangkap sari pati gizi berpendar keseluruh jaringan lembut perifer
seluruh tubuh.
Sejenak
rupannya ingin aku tentram dari semua ingatan masa lalu dan kericuhan ingatan
dalam kota. Segala sesuatu yang bertautan dengan keresahan dan keserakahan hati
yang mampu mengoyak tenangnya aliran fikirku yang ku sengajakan berdiri kokoh
dari pertama kali aku bisa berkata Ba dan Bu, dimana semua orang tertawa
melihat lucu dan lincahnya gerakan tubuh mungilku yang lelah merangkak mencari
jawaban dari yang namanya tumbuh dan berkembang?
Bukan, bukan
itu maksudku. Keyrina menjelaskan duduk perkaranya padaku.
“sudah
cukup Key, cukup kelelahan hati ini berjelaga sendiri sedangkan dirimu menatap
ragu dengan kepastian akalku”.
Please
Ga, please jangan dari sebidang sisi kamu mendefinisikan aral yang telah kita
lalui.
“Key, seandinya aku boleh memilih. Ingin rasannya aku tak pernah
mengenal apa itu virus merah pink, mencari hati penanti hatiku, mengenal
sesosok pemikiran yang kadang ingin terus aku berada disisinya. Menanti, apa yang akan terjadi dengan
fikiran dan hati itu. Menjaganya disaat dia manangis, menenangkan fikirnya
disaat dia lelah, menguatkan kembali dan menata retakan hatinya yang pilu
karena nyatanya dunia dan semua itu kamu Key”.
Hati dan
fikiran ini tetap terjaga utuh dan tersegel erat dalam labirinnya, menunggu hingga momen rekayasa tuhan
itu hadir dan semua kata dari hati ini adalah penantian, penantian panjang dari
perjalanan yang mengungkung aku tetap berpijak dan berdiri disini hanya untuk
hati dan fikiran yang menjagaku dan itu kamu. Seandainya kamu mau memahami
letihnya perjalanan panjang hati dan fikiranku.
“dan aku
diam tak bergeming dengan fikiranku, atas stimulus apa yang telah aku lihat dan
buktikan dengan mataku sendiri. Bahwa Keyrina sesosok yang aku banggakan bisa
menjaga dirinya, berjalan dengan lelaki lain selain aku (heh, enought)”.
Sekelumit
pertengkaran seminggu yang lalupun menjalari saraf hayalku. Mencoba menekuri
kembali jejak hari kemarin yang telah berlalu. Apakah aku salah? Terlalu
otoriterkah aku? Ataukah aku tipikal lelaki yang protektif, ataukah naïf?
Maafkan aku bila aku salah Key, karena seutuhnya raga ini ingin selalu bisa
menanti keletihan, kegundahan serta kesedihanmu kembali dalam dekapannya,
gumamku.
Tarian
burung diatas bunga…………
Bunga
apakah itu? Sedari tadi aku melihat dan memperhatikannya namun tak satupun nama
yang indah dapat aku temukan, oh ia,aku mulai teringat ucapan temanku Anto tadi,
sebelum dia turun ke lembah untuk menemui anak sungai dan membasuh tubuhnya.
Nama bunga itu……….. apa ya? Halo…, ada yang bisa bantu buat ingetin apa nama
bunga ini, ia bunga yang ada di hadapanku sekarang. Yup, bener banget… bunga
yang ada dicerita ini yang sekarang lagi kalian baca.
Aha…,
kalian benar. Nama bunga ini adalah Edlewise, entah si pendaki gunung pertamakah
yang memberi nama, atau memang sudah takdirnya. Namanya begitu anggun layak
seperti bentuknya yang keindahannya semakin terlihat bila dia layu. Edlewise
yang berarti bunga dewa atau pengharapan indah. Jari jemariku mulai gatal-gatal
nih, ingin sekali mendekat dan mengusik indah tarian mereka yang tertiup angin.
Memetik dan menyimpannya sebagai kenangan bahwa aku pernah mendaki gunung ini.
Bisa juga sebagai hadiah dari sebuah ketenanganku setelah berada di puncak ini.
Namun, hati kecilku melarangnya. Dia membisikiku untuk membiarkan edlewise
tetap mekar dan mengisi volume alam sesuai takaranya. Seperti Cinta, bila cinta
kita biarkan berkembang dan tumbuh dengan alaminya maka dia akan terasa semakin
indah. Karena Cinta akan terlihat semakin indah bila kita rela melihat cinta
itu bahagia diluar genggaman kita karena cinta tak semuanya wajib dimiliki.
Cinta
yang selalu ku pertanyakan terjawab kini, melalui siluet fajar yang mengurung
indahnya langit dengan arsiran bunga edlewise. Bahwa,cinta adalah sesuatu
kiasan agung yang harusnya kita jaga dengan sesekali meliriknya, tanpa dengan
pengawalan yang ketat. Karena cinta bukan hak veto dari keangkuhan untuk
memiliki dan kita rengkuh kebebasannya.
***
Aku tak mampu
menuliskan
Melukiskan
Menerangkan, tapi aku
Akan mencoba untuk mengartikanLabels: Jogja Disini Masih Ada Cinta
0 Comments:
Post a Comment
<< Home